Archive for month: Juli, 2017

Membangun bangsa dengan kebijakan Jakarta sebagai ibukota Indonesia sudah terbukti gagal dan tidak berkesinambungan dari dulu sampai sekarang. Untuk itu perlu ada antisipasi awal pembangunan bangsa dengan konsep syariah yang syumul dan kaffah. Sejarah sudah membuktikan bahwa pembangunan bangsa dengan syariah dapat memunculkan negeri ini di dunia internasional, bahkan khusus untuk Aceh pernah menjadi salah satu negara super power dunia di zaman Sultan Iskandar Muda dahulu kala berbarengan dengan kerajaan Turki Usmani, kerajaan Isfahan, kerajaan Mongul dan kerajaan Akra. Mengingat kondisi seumpama itu maka sangatlah perlu pembangunan bangsa kedepan harus dengan konsep syariah seratus persen, sebab bangsa ini sudah sangat ambruk dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara selama wujud wilayah Indonesia. Syariah menawarkan sistem pembangunan dua arah untuk bangsa; pertama arah yang memihak kepada khaliq sebagai creator dan kedua yang mengarah kepada human being sebagai makhluq. Arah pertama menganjurkan kita untuk membangun bangsa dengan mengikuti rambu-rambu ‘aqidah, syariah, dan akhlaq, sehingga pembangunan bangsa kedepan tidak ada satu komponen masyarakatpun yang merasa dirugikan. Sementara arah kedua menawarkan nilai ukhuwwah, nilai mu’amalah dan nilai siyasah menjadi pegangan sehingga hasil dari pembangunan bangsa kedepan memenuhi persyaratan yang ditawarkan Al-Qur’an, yakni; ḥablumminallāh wa ḥablumminannās. Kepada para penguasa negeri ini kapan saja mereka berkuasa kami anjurkan untuk membangun bangsa kedepan dengan konsep pembangunan syariah.

 

PENGALAMAN SEJARAH

            Berpijak kepada pengalaman tempo dulu terutama sekali tentang eksistensi ummat dan kaum para nabi terdahulu, ternyata bangsa-bangsa di zaman tersebut dimusnahkan Allah karena tiga penyebab; pertama karena tidak mau beriman kepada Allah dan kedua karena mengabaikan implementasi syari’ah serta ketiga karena mengabaikan akhlak karimah dalam kehidupan mereka. Kaum nabi Nuh dan bangsa Saba tidak mau beriman kepada Allah maka mereka dimusnahkan dan negerinya dihancurkan Allah, sementara kaun nabi Luth dan kaun nabi Syu’aib tidak mau menjalankan syari’ah lalu merekapun dihancurkan Allah di negerinya masing-masing dengan banjir besar, dengan hujan batu dan dengan gempa.

            Pengalaman tempo dulu tersebut terus berlalu sepanjang hayat manusia yang hidup sambung menyambung di permukaan bumi ini sehingga kezaman kini. Bala dan malapetaka yang menimpa negeri Indonesia dari berbagai kawasan seperti gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004, gempa padang 30 September 2009, gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 berkekuatan 6,5 SR  sampai ke Indonesia bahagian timur ternyata juga memiliki motif yang sama yakni persoalan ummat manusia tersebut tidak mau menyembah Allah (lewat shalat lima waktu) dan tidak mau menjalankan syari’ah (meninggalkan hukum Allah). Selain itu juga ada faktor akhlak (moral) yang sudah sangat hancur dimiliki anak bangsa ini.

            Upaya-upaya netralisasi ancaman dan cobaan serta bala Allah dalam kehidupan orang-orang beriman adalah kembali kepada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, sesuai dengan firman Allah yang artinya: Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raf; 96).

            Sekiranya penduduk negeri Indonesia ini beriman dan bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar iman dan taqwa, yaitu tidak melawan kehendak Allah seperti perintah menghambakan diri kepadaNya, tidak meninggalkan perintah Allah seperti shalat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji dan lainnya dan tidak menjalankan larangan Allah seperti membunuh, berzina, minum khamar, dan seumpamanya. Maka Allah akan mendatangkan berkah (kemakmuran) dari langit dengan menurunkan hujan dan dari bumi dengan memakmurkan hasil tumbuh-tumbuhan. Dengan berkah seperti itu manusia Indonesia akan makmur dalam kehidupan dan sejahtera dunia wal akhirat.

            Allah SWT. berfirman yang artinya: Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (An-Nahl; 112)

 

MEMAHAMI SYARIAH SEBAGAI KONSEP MUSLIHAT

            Syariah atau syariat Islam merupakan sebuah aturan hidup yang menjadi pegangan dan pengatur kehidupan umat manusia khususnya muslim dan muslimah. Semua umat Islam harus memahami syariat sebagai pegangan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Islam yang terdiri dari dimensi akidah (keyakinan), syariah (perundangan) dan akhlak (moral) merupakan agama lengkap yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui rasulNya Muhammad S.A.W.

Syariah sebagai sebuah format perundangan lengkap dalam Islam dapat diklasifikasikan kepada dua bahagian, yakni; ḥuqūq Allāh, dan ḥuqūq al-cIbād. Syaricah atau hukum Islam merupakan satu peraturan Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam. Ia bertujuan untuk menjalin hubungan antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan manusia secara berurutan, dan ketentuan ini pula yang menyebabkan syariah tidak dapat dipisahkan dengan akhlak. Ia juga berfungsi sebagai alat koneksitas antara manusia dengan hayawan, tumbuh-tumbuhan dan semua hasil ciptaan Allah SWT.

Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti syariah dan melarang mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahuinya, firman Allah yang artinya: Kemudian Kami jadikan engkau (wahai Muhammad dan utuskan engkau) menjalankan satu syariah (yang cukup lengkap) dari hukum-hukum agama; maka ikutilah syariah itu, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (perkara yang benar) al-Jatsiyah (45): 18

Secara lebih tegas kita dapat mengartikan syariat Islam adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Untuk itu syariah dapat dikategorikan kepada dua bahagian, yang berhubungan dengan ḥuqūq Allāh (hak-hak Allah) dan yang berhubungan dengan  ḥuqūq al-‘Ibād (hak-hak hamba).

Ḥuqūq Allāh di sini berkaitan dengan ḥabl min Allāh (hubungan dengan Allah) dan  ḥabl min an-nās (hubungan dengan sesama manusia). Ḥabl min Allāh meliputi persoalan-persoalan salat, puasa, haji, do’a dan sejenisnya. Sementara ḥabl min an-nās berkenaan dengan zakat, infak, sedekah dan sejenisnya. Ḥuqūq al-cibᾱd (hak-hak hamba) meliputi persoalan-persoalan;  munākaḥah yaitu bidang nikaḥ, talak, rujuk, fasakh, li’an, zihar, ilak, khulu, pemeliharaan anak, persoalan warisan dan lain-lain; persoalan mu’ᾱmalah menyangkut dengan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, hutang piutang, gadai menggadai, mawah memawah, persoalan bank, asuransi, saham, jasa dan sebagainya; terakhir adalah persoalan sosial kemasyarakatan yang melibatkan masalah-masalah Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Antarabangsa, Hukum Perang dan Damai, bentuk dan konsep negara, model pemerintahan dan seumpamanya.

Syariat Islam menawarkan kelengkapan aturan hidup kepada seluruh umat manusia. Ia memiliki peraturan-peraturan bagi bukan muslim yang sangat relevan dengan tuntutan kehidupan dunia dan akhirat. Dengan konsep syariat Islam seperti itu dapat mewujudkan sebuah iklim damai di muka bumi ini apabila semua penganut agama Islam mahu menerapkannya dalam berbagai segi kehidupan secara sempurna. Non muslim yang menjadi warga negara Islam dan mempraktikkan hukum Islam akan lebih aman dan tenteram hidupnya dibandingkan dengan hidup di negara yang bukan Islam sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan para Khalifah ar-Rashidin.

Syariat Islam memang dapat dijadikan sebuah penyelesaian untuk kedamaian dunia, ia juga dapat mengangkat derajat umat manusia baik yang  muslim atau yang bukan muslim ke peringkat yang lebih dihormati dan mulia apabila mereka menjalankannya dengan sempurna. Sebaliknya apabila umat manusia mengabaikan peraturan-peraturan dan Undang-undang Islam atau tidak mengamalkan dengan sempurna, maka percanggahan, pembunuhan, perampokan dan berbagai kejahatan lain akan muncul dalam kehidupan mereka.

Objektifitas syariah jauh lebih muslihat dan manusiawi apabila dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Sebagai contoh konkritnya; apabila ada seorang yang bersalah karena minum khamar lalu dihukum dengan hukum Islam dalam bentuk hukuman cambuk sebanyak 40 kali cambuk, setelah itu orang yang bersalah tersebut dilepaskan dan ia bisa mencari makan untuk diri dan anak bininya. Tetapi dalam hukum buatan manusia seperti KUHP di Indonesia, apabila tertangkap peminum yang cukup bukti akan dikurung dalam penjara sekian bulan atau sekian hari. Selama ia berada dalam kurungan selama itu pula tidak ada yang menanggung nafakah anak bininya di rumah karena negara lepas tangan terhadapnya, dengan demikian jelas sekali bahwa hukum buatan manusia jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan hukum Allah.

Karena itulah secara berturut-turut Allah SWT berfirman dengan tegas dalam kitab suci Al-Qur’an al-karim surah Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:

… Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir/dzalim/fasik.

Artikel ini ditulis oleh: Hasanuddin Yusuf Adan

(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry)

diadanna@yahoo.com

 

 

Secara umum Indonesia telah Berjaya dijajah dalam berbagai aspek kehidupan oleh Belanda dan Jepang, sehingga tidak ada sisi kehidupan anak bangsa Indonesia hari ini yang tidak bernuansa penjajahan. Bidang politik yang dipraktikkan anak bangsa hari ini merupakan warisan Belanda dengan konsep devide et imperra (pulitek plah trieng) yang satu diinjak dan yang satu lagi diangkat sehingga muncul konsep benci membenci, ancam mengancam, tipu menipu, teror meneror, dan paksa memaksa dalam meraih kekuasaan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

            Dalam bidang pendidikan terjadi dikhotomi yang sangat tajam ketika penjajah memisahkan antara pendidikan agama yang didiskreditkan dengan pendidikan umum yang diistimewakan, sehingga pendidikan agama dipersempit ruang lingkupnya yakni IAIN dengan lima fakulta saja (syari’ah, Tarbiyah, Dakwah, Ushuluddin, dan Adab) dengan peluang kerja hanya di kementerian agama saja. Sementara pendidikan umum mempunyai lebih sepuluh fakultas dengan peluang kerja di semua departemen yang ada.

            Sementara bidang hukum sampai hari ini masih bulat hukum ciptaan Belanda yang belum ditukar ganti dengan hukum Indonesia, apalagi dengan hukum Islam. Kondisi semacam ini mengakibatkan kehidupan anak bangsa Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang penjajah Belanda pada dataran kualitas keilmuan yang dimilikinya. Ketika Indonesia merdeka lewat perlawanan fisik yang sangat kuat dan perkasa, bangsa Indonesia hanya mampu mengusir sosok-sosok kaum penjajah tetapi gagal menghapus pikiran dan pemikiran penjajah untuk anak bangsa. Kondisi tersebut menjadi sebuah keniscayaan hidup anak bangsa dalam rentang waktu yang tidak terbatas yang dapat menghancurkan keyakinan aqidah ummat beragama dan mengancam ideologi bangsa dan negara.

 

MEMBANGUN BANGSA DENGAN PENINGGALAN PENJAJAH

Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, banyak etnis, banyak adat budaya, banyak bahasa, banyak model kehidupannya tidak akan berkekalan apabila tidak ada satu tali pengikat yang kokoh, kuat, dan mampu mempersatukan seluruh etnis serta suku yang ada. Kalau selama ini Indonesia menghandalkan pancasila sebagai pengikat dan perekat persatuan bangsa, itu sifatnya hanya sementara saja. Sudah sangat banyak negara-negara yang hancur karena menjadikan ideologi dan hukum buatan manusia sebagai pengikatnya. Kasus hancurnya United State of Soviet Rusia (USSR), hancurnya Yugoslavia, pecah dan menyatunya Yaman, Jerman, Bangladesh dan Pakistan menjadi contoh konkrit bahwa perekat buatan manusia tidak akan dan tidak pernah bertahan selamanya.

Untuk itu semua kalau Indonesia mau dipertahankan menjadi sebuah negara untuk selama-lamanya mestilah berazaskan Islam dan menjalankan seluruh ketentuan hukum Islam di dalamnya. Islam yang komprehensif  pada dataran kehidupan ummat manusia harus menjadi ideologi bangsa dan negara bukannya Pancasila yang kosong dan tidak punya isi apa-apa. Kalau tidak demikian kita tinggal menunggu waktu saja bahwa Indonesia akan mengalami hal serupa dengan USSR, Yugoslavia, India, Bangladesh, Pakistan, Jerman dan Yaman.

Kalau bangsa Indonesia mau menjadi sebuah bangsa yang bermartabat, yang disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan, maka pembangunan bangsa tersebut harus berbasis syariah. Pendidikan di Indonesia harus pendidikan Islam semenjak dari sekolah dasar sampai ke sekolah tinggi peringkat universitas. Hapus semua jenis pendidikan peninggalan penjajah Belanda yang memisah-misahkan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, itu sama sekali bukan sistem pendidikan Islam.

Hukum peninggalan Belanda baik hukum perdata, pidana maupun hukum-hukum  lainnya selain syariah sudah kadaluarsa dan ketinggalan zaman. Kini masanya Indonesia membangun bangsa dengan syariah dan meninggalkan semua jenis hukum buatan manusia, apa saja alasannya hukum buatan manusia sudah terbukti tidak mampu memperbaiki kehidupan bangsa, tidak mampu memberikan keadilan kepada bangsa, tidak selaras dengan kehidupan 85% ummat Islam di Indonesia. Sudah lebih setengah abad negeri ini merdeka dari penjajah Belanda tetapi hukum Belanda masih dipakai untuk bangsa Indonesia. Ini merupakan sebuah ke’aiban besar bagi sebuah bangsa besar seperti Indonesia.

Penjajah dikejar dan diperangi tetapi hukum dan pendidikan penjajah tetap diambil, diamalkan dan dipraktikkan bagi anak bangsa, bukankah ini suatu kejahilan yang sangat amat jahil? Sungguh sangat luarbiasa bagi sebuah bangsa seperti Indonesia. Untuk menjawab dan memberikan solusi bagi perkara tersebut sekarang sudah terlambat untuk membangun bangsa dengan syariah. Namun demikian, dalam kehidupan orang-orang optimis, tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki suasana melainkan kata harus yang mesti dikedepankan. Indonesia harus membangun bangsanya dengan syariah dengan ideologi Islam bukan dengan hukum peninggalan Belanda, dengan ideologi Pancasila.

 

PEMBANGUNAN DUA ARAH

            Syariah merupakan solusi jitu untuk membangun dan memperbaiki kehidupan sesuatu bangsa di alam raya ini. Karena syariah mempunyai konsep pembangunan dua arah; arah kehidupan dunia dan arah menuju ke akhirat kelak. Ia juga memiliki dua dimensi pendekatan dalam aplikasinya; pendekatan Ilahi dan pendekatan manusiawi. Karena manusia ini yakin ada dunia dan ada akhirat maka mustahil pembangunan ummat manusia dengan sisi pandang dunia saja atau akhirat saja, ia mesti dua-duanya. Karena manusia meyakini ada Khaliq yang Maha Mencipta dan ada makhluq yang diciptakannya, maka pembangunan ummat manusia pula harus berorientasi kepada ubudiyah kepada khaliq dan bermuamalah terhadap sesama makhluq dalam konteks syariah.

Membangun bangsa dengan syariah merupakan sebuah kewajiban bagi bangsa dan negeri itu sendiri, karena itu bahagian daripada perintah Allah SWT. Dan hukumnya wajib bagi seluruh penghuni negeri ini mulai dari peringkat kampung sampai ke peringkat negara. Kalau para pemimpin tidak mau menjalankan syariah dengan sempurna maka ia akan dimintakan pertanggungjawabannya di mahkamah Allah di hari nanti. Dan sikap ogah penguasa tersebut merupakan bahagian daripada memperolok-olok Allah sebagai tuhan sekalian alam.

            Efek daripada kecuaian para pemimpin terhadap implementasi syariah hari ini menjalar sampai ke anak cucu. Mereka akan membencikan syariah suatu masa nanti sebagaimana para endatu mereka melecehkannya hari ini. dengan demikian pembiaran terhadap pembangunan bangsa dengan syariah akan sambung menyambung mulai dari para penguasa hari ini sampai kepada anak-anak mereka, cucu-cucu mereka dan anak cucu mereka nanti dalam waktu yang tidak terbatas.

            Ada sebahagian penguasa yang takut membangun bangsa dengan syariah karena alasan tidak mau datang investor luar. Ini merupakan alasan kuno, kolot, dungu dan panténgöng, kenapa tidak, sudah 15 tahun lebih mereka membiarkan syariah khususnya di Aceh dengan alasan mengharap datangnya investor asing ternyata jauh panggang dari api. Karenanya alasan itu merupakan alasan stupid men yang tidak perlu diikuti oleh siapapun, malah sebaliknya harus dilawan dan diperbaiki suasananya menjadi Islami.

            Mengingat sejarah Aceh dan Indonesia tempo dulu, perjuangan Islam Aceh dari dulu hingga kini, seperti perjuangan DI/TII dan GAM yang berkepanjangan di masa silam, maka sangat amat rugi Aceh kalau tidak dibangun dengan syariat Islam secara menyeluruh, demikian juga untuk Indonesia. Lagi pula pembangunan Aceh dan Indonesia dengan menggunakan pola nasionalisme, sekularisme sudah terbukti gagal dari masa ke masa. Pembangunan Aceh dengan syariah tempo dulu baik di masa Kerajaan Aceh Darussalam maupun zaman zaman PUSA sudah membawa hasil gemilang sampai terkenang ke hari ini.

            Sebagai catatan paling akhir, melakukan sesuatu dalam kehidupan kita hari ini merupakan menanam benih untuk dipetik hasilnya oleh anak cucu di kemudian hari. Karena itu salah kita menanam benih hari ini maka salah pula hasil yang akan dipetik anak cucu di hari nanti. Kalau hari ini kita menanam pohon kelapa maka anak cucu kita sepuluh tahun kedepan akan memetik buah kelapa. Kalau hari ini kita menanam pohon mangga maka anak cucu kita nanti akan memetik buah mangga. Kalau kita menanam pohon jeruk hari ini maka anak cucu kita nanti akan memetik dan makan buah jeruk, kalau kita menanam bibit ganja hari ini maka anak cucu kita akan mengunyah ganja di kemudian hari. Demikian juga seandainya kita membangun anak bangsa hari ini dengan syariah maka anak cucu kita nanti akan disayangi dan dikasihi Allah manakala mereka menyatu dan mengamalkan syariah. Untuk itu semua mari membangun bangsa dengan syariah, dan katakan ya kepada syariah serta katakan tidak kepada hukum buatan manusia. Wallahu a’lam.

 

Artikel Ini ditulis oleh: Hasanuddin Yusuf Adan

(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry)

diadanna@yahoo.com

Sebagai agama paling akhir diturunkan Allah SWT dari kalangan agama-agama samawi, Islam dipilih dan ditetapkan Allah sebagai satu-satunya gama yang benar dan sempurna di muka bumi ini sampai akhir zaman nanti, selain agama Islam semuanya ditolak oleh Allah SWT (Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3, Ali Imran ayat 19 dan 85). Ketika Allah hanya mengakui dan menerima agama Islam saja di dunia ini berarti agama selain Islam tidak benar dan tidak boleh dianut oleh ummat manusia melainkan penganutnya akan disiksa dalam neraka oleh Allah nanti pada masanya karena menjadi kafir (Qur’an surah Al-Bayyinah ayat 6).

Pemilahan dari Allah tersebut tidak hanya bermakna sekedar pemilahan masa antara satu dengan lain agama dalam kontek agama samawi melainkan sifatnya definitif, mutlak, dan berkekalan dalam segala jenis ajarannya. Salah satu hal yang telah Allah pilah adalah tidak boleh memilih pemimpin non muslim oleh muslim dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu setiap muslim dilarang mencampur adukkan antara atribut agama Islam dengan atribut agama lainnya baik dalam konteks ‘aqidah, syari’ah maupun akhlak karena Islam dan atribut Islam merupakan kebenaran dan atribut selain Islam sebagai kebathilan (Qur’an surah Al-baqarah ayat 42).

Antara Islam dengan non Islam terdapat pembatas besar yang disebut dengan pembatas permanen, yaitu ada jurang yang membatasi antara sebuah kebenaran dengan kebathilan. Itu bermakna pembatas di hulu yang resiko dan konsekwensinya berakibat sampai ke hilir. Karenanya ketika Allah memilih Islam dan menolak yang lainnya maka semua atribut Islam sama sekali tidak boleh dicampur adukkan dengan atribut agama lain terutama berkaitan dengan memilih non muslim sebagai pemimpin muslim.  Karena hulunya sudah ada batasan maka tengah dan hilirnyapun secara otomatis berbatas dengan sendirinya. Kecuali perkara-perkara kemanusiaan yang termasuk dalam konteks hablum minan nas di luar ‘aqidah, syari’ah dan akhlak yang boleh bekerja sama dan saling aplikatif seperti menyelamatkan nyawa, jual beli atas keperluan hidup dan kehidupan, kerja sama antar negara yang berbeda agama dan seumpamanya.

 

LARANGAN AL-QUR’AN

Terdapat banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang melarang ummat Islam memilih non muslim menjadi teman dekat dan pemimpinnya. “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali” (Ali Imran ayat 28).     Kandungan ayat ini memahamkan kita bahwa ummat Islam dilarang Allah memilih non muslim menjadi pemimpinnya dari kalangan apapun non muslim itu berasal. Kalaupun muslim tidak mengikuti perintah Allah tersebut maka orang tersebut lepas dari bantuan Allah dalam kehidupan ini, kecuali kalau berada dalam kondisi yang mudharat dengan menggunakan siyasat untuk menyelamatkan diri dan agamanya.

Dalam surah Al-maidah ayat 51 Allah mengkhususkan larangan  memilih orang-orang Yahudi dan Nashrani (Kristen) menjadi pemimpin ummat Islam. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Konsekwensi orang-orang yang tidak meninggalkan larangan Allah dalam ayat ini adalah Allah jadikan mereka sama dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani telah dicap kafir yang bakal menghuni neraka oleh Allah maka identik maknanya orang-orang Islam yang memilih mereka menjadi pemimpin akan sama dengan mereka, hina di dunia (hilang iman) dan hina di akhirat (mendapat neraka). Tidak ada sedikitpun peluang bagi seorang muslim untuk memilih non muslim menjadi pemimpin kecuali dalam kasus dharurat dan untuk bersiyasat, kasus dharurat umpamanya minoritas muslim dalam negara mayoritas non muslim seperti di Eropah, Amerika, dan sebagainya. Untuk keperluan siasat misalnya ada orang Islam dipaksa bunuh kalau tidak memilih mereka, untuk menyelamatkan nyawa ummat Islam boleh bersiasat, namun hatinya tetap tidak setuju seperti kasus Bilal bin Raba’, dan Ammar bin Yasir.

Dalam surah Al-Mumtahanah ayat 1 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”.

Ayat tersebut melabelkan bahwa semua orang kafir adalah musuh Allah dan musuh orang-orang muslimin dan mukminin, karena mereka tidak mau memeluk agama Allah yang benar (Islam). Maka Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai teman-teman setia dalam hidup ini dan Allah melarang kita untuk menyampaikan berita dari nabi Muhammad SAW kepada mereka karena mereka kafir dan ingkar kepada kebenaran yang datangnya dari Allah SWT. kalaupun ada orang Islam yang berbuat demikian maka Allah katakan mereka sudah sesat dari jalan yang lurus.

Sesungguhnya sangat banyak ayat-ayat Al-Qur’an lain yang menegah seorang muslim memilih non muslim menjadi teman akrab dan pemimpin dalam kehidupan dunia ini. Maka sangatlah kita sayangkan kalau ada orang-orang yang memimpin partai politik dalam komunitas mayoritas muslim seperti di Indonesia dengan lantang mencalonkan non muslim sebagai pemimpin rakyat yang 85% beragama Islam. Tidak ada jalan bagi mereka di mata Allah selain neraka menunggu mereka karena mereka sudah sama dengan non muslim baik Yahudi, Nasrani, maupun kafir lainnya.

 

LARANGAN AL-SUNNAH

Ada beberapa hadis Rasulullah SAW dari beberapa riwayat yang dengan tegas melarang ummat Islam memilih non muslim menjadi teman setia dan pemimpin yang dikuatkan oleh larangan ayat-ayat Al-Qur’an ketika terjadinya asbabun nuzul. Di zaman nabi ada sejumlah ummat Islam yang berteman rapat dengan orang-orang Yahudi, sebahagian muslim lain menasehati saudaranya agar jangan berteman rapat dengan Yahudi karena orang-orang Yahudi akan merusakkan keyakinan muslim dan merusakkan Islam, namun orang-orang Islam tersebut tidak mau mendengarnya dan tetap saja berteman baik dengan kaum Yahudi tersebut, maka Allah turunkan ayat 28 surah Ali Imran: la yattakhizil mukminuwnal kaafiriyna auliyak (janganlah orang-orang mukmin memilih orang kafir menjadi teman dekat/pemimpin).

Menurut Al-Qurthubi yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan masalah Ubadah ibnu As-Samit dari kalangan anshar yang menyertai perang Badar. Ketika nabi mau keluar untuk perang Ahzab Ubadah berkata: ya Rasulullah, saya memiliki kawan-kawan dari kalangan Yahudi sebanyak 500 orang, dan saya berencana mengikutkan mereka dalam perang Ahzab agar kita terbantu dan menang melawan musuh-musuh Allah. Segeralah turun ayat tersebut: la yattakhizil mukminuwnal kafiriyna auliyak. Maka jelaslah bagi kita meminta bantu untuk berperangpun kepada Yahudi dalam waktu terbatas dilarang Allah, apalagi mengangkat mereka menjadi pemimpin kita dalam waktu lama.

Dalam riwayat Ibnu Abbas: Hajjaj ibnu Amir, Ibnu Abi Hukaiq, dan Qais ibnu Zaid dari kalangan orang Yahudi berteman akrab secara rahasia dengan orang-orang muslim dari kalangan Anshar dengan tujuan mencari kelemahan Islam untuk menghancurkan Islam. Ketika muslim mengetahui rencana mereka maka muncullah beberapa orang shahabat seperti Rifa’ah ibnu Munzir, Abdullah ibnu Jubair,, dan Sa’ad ibnu Haithamah untuk memberi nasehat kepada orang-orang anshar tersebut, namun orang-orang anshar tidak menghiraukan nasehat saudaranya yang seiman dan seagama tersebut, lalu turunlah ayat tersebut: la yattakhizil mukminuwnal kafiriyna auliyak. Dengan demikian muncul pertanyaan terhadap orang-orang Islam yang mencalonkan kafir menjadi pemimpin seperti di Jakarta: kenapa mereka sampai hati mengorbankan Islam yang maha benar dan ummat Islam sebagai saudaranya dengan mencalonkan kafir untuk menjadi pemimpin ummat Islam?

 

Artikel ini dituis oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA

(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fiqh Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

diadanna@yahoo.com